Sungguh, ingin rasanya aku menahan segala keinginannya untuk lari
dariku, sungguh aku menginginkan itu namun aku tidak mampu. Sudah cukup
tangisan-tangisannya selama ini, aku tak ingin ada tangisan itu lagi.
Sungguh aku tak ingin dia menangis lagi. Jikapun dengan melepaskannya
mampu membuat satu senyum tipis di hatinya, aku rela! Yah, aku rela!
Walau dengan konsekuensi aku harus teramat terluka. Teramat sakit.
Hingga ingin muntah rasanya, bukan cuma ingin tetapi aku benar-benar
muntah. Mengigil, ketakutan, kalut, bahkan untuk mengetik tuts keypad handphone saja terasa amat sulit. Aku benar-benar kacau. Aku kolaps.
Tuhan, aku sungguh tak mengerti. Apakah sebuah cinta yang teramat tulus tidak cukup untuk membuat kita dicintai? Tidakkah cukup itu? Harus apalagi!
Sungguh, di dalam diri ini seperti ada yang memberontak. Sungguh, di dalam diri ini ada yang ingin mempertanyakanku. Kamu bodoh Ben! Teramat bodoh! Masih memikirkan perasaan orang lain sedangkan perasaanmu berantakan, KAMU BODOH! TOLOL! BEGO! PAOK!
Sungguh, cinta itu teramat berat. Amat sangat berat ia dan amat menyakitkan. Harus ada yang dikorbankan saat dirimu siap untuk mencintai, termasuk dirimu.
Sungguh cinta itu amat berat, teramat berat saat keegoisanmu dibenamkan dalam-dalam hingga dialah yang menjadi illah bagimu. Sungguh amat berat cinta itu adanya.
Aku ingin nangis, tapi aku malu. AKU PRIA! Sampai Wendri mengirimkan pesan, ”Pada mulanya adalah kaki, lalu perjalanan dari sepatu ke sepatu. Pada mulanya adalah hati, lalu perjuangan dari ragu ke ragu. Windri ga bisa ucap apa-apa, kecuali menangislah beni, apa yang akan terucap jika air mata berbicara lebih dari segalanya. Pria juga memiliki kelenjar air mata kan? MENANGISLAH. Kamu tidak salah!”
Taman Surga, itu julukan untuk wanita yang selama ini amat kucintai itu. Wanita yang mampu meruntuhkan hatiku. Wanita yang benar-benar ingin kunikahi. Wanita yang hingga saat ini masih tak mampu kumengerti.
Sudah cukup! Cukup! Cukup!
…
Lantas semuanya menjadi hening, aku terbenam dalam ekstasi keheningan. Sebuah sunyi padat yang membungkus dan amat luas. Dimana kamu bukan dirimu.
”Ben…”
Aku melongok ke samping, ada satu senyum lembut di sana, senyum yang selama ini kurindukan, juga kutakuti. Senyum illah-ku.
”Patah hati lagi ya?” Dia bertanya lembut.
”…” hanya ada sejuta diam yang mampu kuberikan.
”Mana yang kamu inginkan? Seorang wanita yang kamu rasa kamu cintai untuk menjadi pendampingmu menuju surga atau seseorang yang Aku pilih untukmu?”
”…” aku masih terdiam.
”Belum tentu yang kamu anggap baik dan kamu cintai itu yang terbaik untukmu. Namun pilihan-Ku pasti yang terbaik untukmu!”
Ada harapan dari kata-kata itu.
”Bersabarlah, dan menunggulah. Sungguh Aku mencintai mereka yang bersabar,” suara itu terdengar amat tegas. ”Bukankah Aku sudah menjanjikan lelaki yang baik untuk wanita yang baik dan wanita yang baik untuk lelaki yang baik pula? Apa kamu meragukannya?”
Tiba-tiba saja aku teringat penggalan dari lagu Maydani, … sabarlah menanti, usahlah ragu, kekasih kan datang sesuai dengan iman dihati. Sabarlah menanti, bila di dunia dia tiada moga di surga dia menanti …
Dan aku tersenyum…
”Tuhan, cinta itu amat berat ya? Amat sangat berat ia dan menyakitkan. Tuhan, untuk melupakan cinta ini berapa tahun engkau berikan waktu untukku? Jangan terlalu lama.” Keluhku.
Tuhan, jika kelak engkau memberikan cinta lagi untuk ketiga kali. Mohon tetapkanlah hatiku padanya dan hatinya padaku hingga aku mampu mengajaknya mendaki surga bersamaku. Jangan biarkan kami tergelincir di persimpangan jalan, hingga aku kembali merasa kesepian.
Tuhan, cinta itu berat ya.
Tuhan, aku sungguh tak mengerti. Apakah sebuah cinta yang teramat tulus tidak cukup untuk membuat kita dicintai? Tidakkah cukup itu? Harus apalagi!
Sungguh, di dalam diri ini seperti ada yang memberontak. Sungguh, di dalam diri ini ada yang ingin mempertanyakanku. Kamu bodoh Ben! Teramat bodoh! Masih memikirkan perasaan orang lain sedangkan perasaanmu berantakan, KAMU BODOH! TOLOL! BEGO! PAOK!
Sungguh, cinta itu teramat berat. Amat sangat berat ia dan amat menyakitkan. Harus ada yang dikorbankan saat dirimu siap untuk mencintai, termasuk dirimu.
Sungguh cinta itu amat berat, teramat berat saat keegoisanmu dibenamkan dalam-dalam hingga dialah yang menjadi illah bagimu. Sungguh amat berat cinta itu adanya.
Aku ingin nangis, tapi aku malu. AKU PRIA! Sampai Wendri mengirimkan pesan, ”Pada mulanya adalah kaki, lalu perjalanan dari sepatu ke sepatu. Pada mulanya adalah hati, lalu perjuangan dari ragu ke ragu. Windri ga bisa ucap apa-apa, kecuali menangislah beni, apa yang akan terucap jika air mata berbicara lebih dari segalanya. Pria juga memiliki kelenjar air mata kan? MENANGISLAH. Kamu tidak salah!”
Taman Surga, itu julukan untuk wanita yang selama ini amat kucintai itu. Wanita yang mampu meruntuhkan hatiku. Wanita yang benar-benar ingin kunikahi. Wanita yang hingga saat ini masih tak mampu kumengerti.
Sudah cukup! Cukup! Cukup!
…
Lantas semuanya menjadi hening, aku terbenam dalam ekstasi keheningan. Sebuah sunyi padat yang membungkus dan amat luas. Dimana kamu bukan dirimu.
”Ben…”
Aku melongok ke samping, ada satu senyum lembut di sana, senyum yang selama ini kurindukan, juga kutakuti. Senyum illah-ku.
”Patah hati lagi ya?” Dia bertanya lembut.
”…” hanya ada sejuta diam yang mampu kuberikan.
”Mana yang kamu inginkan? Seorang wanita yang kamu rasa kamu cintai untuk menjadi pendampingmu menuju surga atau seseorang yang Aku pilih untukmu?”
”…” aku masih terdiam.
”Belum tentu yang kamu anggap baik dan kamu cintai itu yang terbaik untukmu. Namun pilihan-Ku pasti yang terbaik untukmu!”
Ada harapan dari kata-kata itu.
”Bersabarlah, dan menunggulah. Sungguh Aku mencintai mereka yang bersabar,” suara itu terdengar amat tegas. ”Bukankah Aku sudah menjanjikan lelaki yang baik untuk wanita yang baik dan wanita yang baik untuk lelaki yang baik pula? Apa kamu meragukannya?”
Tiba-tiba saja aku teringat penggalan dari lagu Maydani, … sabarlah menanti, usahlah ragu, kekasih kan datang sesuai dengan iman dihati. Sabarlah menanti, bila di dunia dia tiada moga di surga dia menanti …
Dan aku tersenyum…
”Tuhan, cinta itu amat berat ya? Amat sangat berat ia dan menyakitkan. Tuhan, untuk melupakan cinta ini berapa tahun engkau berikan waktu untukku? Jangan terlalu lama.” Keluhku.
Tuhan, jika kelak engkau memberikan cinta lagi untuk ketiga kali. Mohon tetapkanlah hatiku padanya dan hatinya padaku hingga aku mampu mengajaknya mendaki surga bersamaku. Jangan biarkan kami tergelincir di persimpangan jalan, hingga aku kembali merasa kesepian.
Tuhan, cinta itu berat ya.
Comments
Post a Comment