Dulu, aku pertama mengenal cinta yang dapat kupahami secara kasat. Aku mampu memberikan
cinta, aku mampu menelepon cinta, aku mampu tertawa bersama cinta.
Hingga prahara datang, membordirku dalam bentuk yang tidak lagi
kupahami.
Sadar. Cinta telah hilang.
Pernah kutanyakan pada cinta, “apakah engkau membutuhkan aku menjadi dewasa? Sungguh aku tidak dewasa.”
Cinta tersenyum. “Tidak.” Begitu katanya.
Awalnya aku paham cinta adalah jujur, hingga ketika prahara datang bahwa semua adalah dusta. Ternyata, cinta butuh dewasa.
Dewasa datang bak hantu blawu. Seperti gundorowo. Aku takut, aku tak berani menyerangnya. Aku ingin cinta bahagia, makanya aku diam. Aku tahu, cinta butuh dewasa.
Aku berlari ke belakang, aku takut. Aku bingung ketika cinta bilang, “kamu jangan lagi menghubungiku, ya!”
Setelah mendapatkan tempat gelap yang nyaman, aku baru mulai bernafas. Mampu ku dengar nafasku sengal-sengal.
Tempat itu gelap. Pengap. Sunyi. Sepi. Namun aku nyaman. Tempat yang cocok untuk melupakan cinta. Tapi aku salah, cinta selalu ada tak pernah terlupa.
Aku baru tahu bahwa aku masih sayang cinta. Saat mendengar namanya disebut, dadaku berdebar, wajahku merah. Aku rindu. Aku kangen cinta.
Tapi cinta tidak butuh aku. Cinta cuma butuh dewasa. Cinta telah mendapatkan seseorang itu. Cinta sekarang telah bersama dewasa.
Aku benci dewasa, tapi aku tak bisa bilang. Aku takut cinta sakit hati, kalau kukatakan aku benci dewasa. Aku ingin cinta bahagia, selalu kukatakan. “Tak peduli pria di depanmu yang kau ikuti, aku tetap ada di belakangmu, mendorongmu, dengan cara yang tidak pernah kau duga.”
Langit biru, awan masih tetap putih. Bias lautan yang terpantul di atmosfir bumi, sungguh keindahan yang selalu ditulis oleh para pujangga. Langit lantas hitam ketika malam bermuara di tepian, ketika cahaya telah lari ke sebelah.
Untuk cinta, aku tetap cinta.
Pagi tadi, dari awal aku bangun, aku terus memikirkan cinta. Namanya selalu kueja pelan. Aku tidak tahu, apakah dia sudah lupa aku? Dia terlalu membenci aku. Dikatanya, semua hinaanku tak akan pernah dia lupa.
Aku salah. Aku terlalu cinta. Aku tidak dewasa.
Dia adalah pengalaman yang tak pernah ku lupa. Cinta adalah pertamaku saat berjalan bersama. Cinta adalah ruhku.
Cinta bilang, dewasa itu indah. Aku tersenyum. Aku bahagia karena cinta bahagia. Aku menangis karena cinta menangis. Karena aku cinta.
Sekarang, sedikit-sedikit aku belajar berdiri. Tertatih berjalan dengan dua kaki. Menegakkan punggungku. Aku katakan pada cinta melalui tulisan-tulisanku, “aku ingin melamar bidadari.”
Aku belajar menjadi dewasa. Aku tidak ingin lagi hilang cinta karena dewasa. Karena: CINTA BUTUH DEWASA.
Sadar. Cinta telah hilang.
Pernah kutanyakan pada cinta, “apakah engkau membutuhkan aku menjadi dewasa? Sungguh aku tidak dewasa.”
Cinta tersenyum. “Tidak.” Begitu katanya.
Awalnya aku paham cinta adalah jujur, hingga ketika prahara datang bahwa semua adalah dusta. Ternyata, cinta butuh dewasa.
Dewasa datang bak hantu blawu. Seperti gundorowo. Aku takut, aku tak berani menyerangnya. Aku ingin cinta bahagia, makanya aku diam. Aku tahu, cinta butuh dewasa.
Aku berlari ke belakang, aku takut. Aku bingung ketika cinta bilang, “kamu jangan lagi menghubungiku, ya!”
Setelah mendapatkan tempat gelap yang nyaman, aku baru mulai bernafas. Mampu ku dengar nafasku sengal-sengal.
Tempat itu gelap. Pengap. Sunyi. Sepi. Namun aku nyaman. Tempat yang cocok untuk melupakan cinta. Tapi aku salah, cinta selalu ada tak pernah terlupa.
Aku baru tahu bahwa aku masih sayang cinta. Saat mendengar namanya disebut, dadaku berdebar, wajahku merah. Aku rindu. Aku kangen cinta.
Tapi cinta tidak butuh aku. Cinta cuma butuh dewasa. Cinta telah mendapatkan seseorang itu. Cinta sekarang telah bersama dewasa.
Aku benci dewasa, tapi aku tak bisa bilang. Aku takut cinta sakit hati, kalau kukatakan aku benci dewasa. Aku ingin cinta bahagia, selalu kukatakan. “Tak peduli pria di depanmu yang kau ikuti, aku tetap ada di belakangmu, mendorongmu, dengan cara yang tidak pernah kau duga.”
Langit biru, awan masih tetap putih. Bias lautan yang terpantul di atmosfir bumi, sungguh keindahan yang selalu ditulis oleh para pujangga. Langit lantas hitam ketika malam bermuara di tepian, ketika cahaya telah lari ke sebelah.
Untuk cinta, aku tetap cinta.
Pagi tadi, dari awal aku bangun, aku terus memikirkan cinta. Namanya selalu kueja pelan. Aku tidak tahu, apakah dia sudah lupa aku? Dia terlalu membenci aku. Dikatanya, semua hinaanku tak akan pernah dia lupa.
Aku salah. Aku terlalu cinta. Aku tidak dewasa.
Dia adalah pengalaman yang tak pernah ku lupa. Cinta adalah pertamaku saat berjalan bersama. Cinta adalah ruhku.
Cinta bilang, dewasa itu indah. Aku tersenyum. Aku bahagia karena cinta bahagia. Aku menangis karena cinta menangis. Karena aku cinta.
Sekarang, sedikit-sedikit aku belajar berdiri. Tertatih berjalan dengan dua kaki. Menegakkan punggungku. Aku katakan pada cinta melalui tulisan-tulisanku, “aku ingin melamar bidadari.”
Aku belajar menjadi dewasa. Aku tidak ingin lagi hilang cinta karena dewasa. Karena: CINTA BUTUH DEWASA.
Comments
Post a Comment